Politik Dinasti di Era Otonomi Daerah: Antara Hak Warga Negara hingga Berbagai Permasalahannya

Majunya putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming dalam pemilihan Wali Kota Solo dan putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah dalam pemilihan Walikota Tangerang Selatan telah memantik banyak perhatian publik. Persoalan tentang politik dinasti kembali mengemuka dan menjadi perbincangan hangat. Tidak hanya Gibran dan Siti Nur Azizah, kerabat pejabat publik juga akan maju dalam Pilkada serentak tahun ini, yaitu Bobby Afif Nasution (calon Walikota Medan) yang merupakan menantu presiden, Wahyu Purwanto (Calon Bupati Gunung Kidul) yang merupakan adik ipar Presiden, serta calon Walikota Tangerang Selatan yang berasal dari keluarga Ketua Umum Partai Gerindra yaitu Rahayu Saraswati Hashim Djijohadikusumo yang merupakan keponakan Prabowo Subianto.

Persoalan ikut terjunnya sanak saudara dalam gelanggang politik elektoral, bukanlah hal baru di Indonesia. Namun, trend politik dinasti terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Nagara Institute menunjukan bahwa dalam konteks keanggotaan DPR RI, terjadi peningkatan anggota DPR RI yang merupakan kerabat pejabat politik. Pada tahun Pemilu 2009 tercatat ada 27 anggota DPR RI yang bagian dari dinasti politik, meningkat menjadi 51 anggota DPR RI pada Pemilu 2014, dan meningkat hampir dua kali lipat menjadi 99 anggota DPR RI pada Pemilu 2019.

Merespon isu meningkatnya politik dinasti di era otonomi daerah, pada 06 Agustus 2020, Institute of Governance and Public Affairs (IGPA), Magister Administrasi Publik, Fisipol UGM menyelenggarakan webinar bertajuk “Otonomi Daerah dan Berkembangnya Dinasti Politik di Indonesia” dengan mengundang empat pembicara yaitu: Djohermansyah Djohan (Guru Besar IPDN), Agus Pramusinto (Guru Besar FISIPOL UGM dan Ketua KASN), Siti Nur Azizah (Calon Walikota Tangerang Selatan), dan J. Kristiadi (Peneliti Senior CSIS). Diskusi tersebut dipandu oleh moderator Prayoga Permana, dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik UGM yang juga tengah menyelesaikan studi Ph.D di University of Groningen.

Diskusi yang dihadiri hampir 200 peserta ini dibuka oleh Erwan Agus Purwanto selaku Dekan FISIPOL UGM. Ia memaparkan tentang dinasti kepemimpinan dalam level daerah yang diakibatkan oleh penguasaan atas sumber daya keuangan dan politik sehingga menyebabkan maraknya masalah korupsi. Kondisi ini menjadi masalah ketika membuat orang-orang yang tidak memiliki akses atas sumber daya tersebut, tidak mendapatkan haknya untuk berpolitik. Erwan menambahkan “saya kira ini bukan masalah otonominya, tapi masalah implementasinya” untuk menegaskan bahwa selama ini pelaksanaan otonomi daerah masih ada banyak masalah yang harus diselesaikan.

Setelah sambutan Dekan FISIPOL UGM, diskusi kemudian dimulai oleh Djohermansyah yang memaparkan bahwa dinasti politik di era otonomi daerah di antaranya diakibatkan oleh tata kelola daerah yang buruk. Penulis buku “Koki Otonomi” ini menggarisbawahi bahwa setiap orang memiliki hak untuk dipilih dalam demokrasi, sehingga tidak dapat dibatasi atau dikontrol.

Paparan selanjutnya oleh Agus Pramusinto menjelaskan bahwa ada perbedaan terminologi antara “dinasti politik” dan “politik dinasti”. Dinasti politik adalah kondisi di mana keluarga atau kerabat sama-sama memiliki profesi sebagai politisi atau terlibat dalam politik. Sedangkan politik dinasti merupakan politik “warisan”, dan ini yang menjadi masalah. Menurutnya, dinasti politik memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positifnya, kepopuleran akan menciptakan kepercayaan publik. Namun, ini juga menjadi masalah karena banyaknya sanak saudara dalam kekuasaan atau kepopuleran seorang tokoh, cenderung membuat mekanisme check and balance tidak berjalan. Begitu juga dalam konteks politik dinasti, sisi positifnya bahwa pembangunan dapat dilanjutkan karena tidak ada perseteruan dengan pemimpin sebelumnya, karena mereka masih berkerabat. Namun, sama dengan dinasti politik, aspek negatif dari politik dinasti adalah citra yang dibentuk oleh pemimpin hanya mengandalkan popularitas dan kemampuan dari kerabat mereka belaka. Di akhir paparan, Ketua KASN tersebut menjelaskan bahwa yang harus dilakukan ke depan adalah membatasi masa jabatan hanya sekali saja, memberikan jeda waktu bagi keluarga untuk mendaftarkan diri menjadi calon pemimpin daerah, serta melarang keluarga inti untuk turut serta dalam promosi calon.

Diskusi dilanjutkan oleh Siti Ma’ruf yang merupakan puteri dari Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang saat ini sedang maju menjadi calon Walikota Tangerang Selatan. Ia menjelaskan bahwa “setiap orang berhak memilih profesi dan medan perjuangannya”, ia tidak waswas dengan sebutan politik dinasti yang sering dilekatkan pada dirinya, karena ia yakin dengan pengalamannya di dunia birokrasi atau sektor publik, serta pengetahuannya dalam bidang pengambilan kebijakan menjadi bekal yang kuat untuk mengatasi masalah daerah.

J.Kristiandi menutup runtutan paparan pembicara dengan memberikan penegasan bahwa “orang tidak boleh kehilangan hak politiknya karena status sosial”. Masalah umum yang terjadi di Indonesia yang kemudian menyebabkan kematangan demokrasi tidak kunjung tercapai adalah karena tidak ada sistem atau kebijakan yang membatasi secara tegas dengan melawan sifat bawaan manusia yaitu “keserakahan”, sehingga para pemodal menggunakan kuasanya untuk mengendalikan aturan main dalam konteks demokrasi. Baginya, ini berbeda dengan konteks negara Amerika yang kekuatan masyarakatnya sangat massif, sehingga dapat mengawal jalanya perpolitikan, ini membuat orang dengan profesi petani pun dapat berkontribusi meramaikan demokrasi elektoral untuk memperjuangkan kepentingan golongannya.

Diskusi kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Peserta sangat antusias meramaikan fitur chat zoom untuk memberi tanggapan dan pertanyaan kepada pembicara. Moderator kemudian memilih dua pertanyaan secara acak. Dari pertanyaan-pertanyaan pada sesi tanya jawab, ke-empat pembicara sepakat bahwa diskusi publik yang membahas isu politik serta kebijakan pemerintah, baik yang dilakukan dalam ranah institusi pendidikan formal maupun di luar itu sangat diperlukan untuk membangun kekuatan masyarakat yang mampu mengawal jalannya demokrasi.

Sebelum mengakhiri acara diskusi di forum Webinar ini, IGPA MAP Fisipol UGM berkesempatan menjadi wadah bagi peluncuran buku terbaru karta Djohermansyah Djohan dan Jose Rizal yang berjudul “Koki Otonomi: Kisah Anak Sekolah Pamong”. Buku ini memberikan gambaran pengalaman empiris Djohermansyah atau yang akrab dipanggil “Pak Djo” ini dalam melihat perkembangan otonomi daerah. Buku yang ditulis dengan bahasa ringan ini ditujukan agar pembaca dapat memahami masalah-masalah yang timbul dalam desentralisasi kekuasaan selama ini.

Akhirnya, pada pukul 12.00 WIB acara webinar forum kebijakan “Otonomi Daerah dan Berkembangnya Dinasti Politik di Indonesia” ditutup oleh Yuyun Purbokusumo yang merupakan Direktur IGPA MAP Fisipol UGM. Yuyun menutup dengan ucapan terimakasih dan mengapresiasi pembicara karena telah memberikan pemaparan yang mampu memberikan insight bagi para praktisi, akademisi, hingga masyarakat secara luas dalam memandang politik dinasti. Menurutnya, dengan webinar semacam ini, akan mampu mendorong semakin meluasnya pemikiran kritis terhadap suatu kasus, sehingga akan berdampak pada kualitas demokrasi di Indonesia yang semakin lebih baik lagi. (ADW/IGPA)

Leave A Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pelatihan MAP