UU PERTANAHAN DAN KONFLIK AGRARIA DI YOGYAKARTA

Klaim tanah eks-swapraja di DIY terus menimbulkan konflik agraria. Tidak lama setelah lahan Gumuk Pasir di Bantul diklaim sebagai Sultan Ground (SG) oleh Kasultanan, berbagai klaim lain bermunculan. Kali ini berkaitan dengan permasalahan ganti rugi lahan dalam pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulonprogo. Kadipaten Pakualaman yang juga bagian dari Kasultanan Ngayogyakarta, mengklaim lahan membentang dari pantai Congot sampai Glagah yang termasuk di dalam objek pembangunan bandara sebagai miliknya atau Pakualaman Ground (PAG). Untuk melanjutkan pembangunan, maka PT Angkasa Pura I perlu menebus lahan seluas 160 hektar ini dengan mahar Rp701 miliar. Di saat bersamaan, petani yang telah mengolah lahan ini selama 11 tahun, justru tidak mendapatkan ganti rugi apapun. Klaim sebagai lahan milik pakualaman, membuat petani itu tidak mendapatkan ganti rugi atas lahan yang telah dikelola dan ditempatinya. Klaim Kadipaten Pakualaman begitu problematis karena bersumber dari peraturan pertanahan peninggalan kolonial yakni Rijksblad 1918, yang pada dasarnya tidak lagi berlaku (Tirto, 27/8/2018).

Konflik agraria di Yogyakarta ini, berdasar pada sengkarut sejarah panjang penguasaan tanah sejak lahirnya UU Pokok Agraria (UU PA) 1960 hingga UU keistimewaan DIY. Lahirnya UU PA upaya meredistribusikan penguasaan lahan yang berlebih (termasuk tanah eks-swapraja) kepada rakyat yang tidak memiliki tanah atau tanah yang sempit. Bagi Soekarno saat itu, “Revolusi Indonesia tanpa land reform (redistribusi lahan) adalah sama saja… omong besar tanpa isi”. Lima dekade berselang, cita-cita Soekarno ditanggapi berbeda oleh klaim Kadipaten terhadap lahan eks-swapraja-nya. Tanah eks-swapraja di DIY, kini kembali dihidupkan dan dilindungi oleh kemunculan Undang – undang Nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY (UUK). Dengan dalih menjaga dan mengembangkan kebudayaan, UUK secara tidak langsung melegitimasi kembali lahan eks-swapraja yang membentang luas di seluruh wilayah DIY. Pada kasus lain, tanah kas desa yang menjadi sumber pendapatan desa, bahkan juga tidak luput diklaim sebagai bagian dari tanah eks-swapraja karena dianggap bersumber dari Kesultanan dan Kadipaten.

Bagaimana kebijakan pertanahan mengatur tanah Sultan Ground dan Pakualaman Ground di DIY? Apa yang membuat kemunculan klaim tanah Sultan Ground dan Pakualaman Ground ini memicu konflik agararia di DIY? Kondisi struktural seperti apa yang memungkinkan klaim itu dapat dijalankan? Apaplikasi ke depan dengan kondisi pertanahan di DIY saat ini?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, mari hadiri diskusi MAP Corner-Klub MKP pada Selasa, 18 September 2018 pukul 15.00 WIB dengan tema “UU Pertanahan & Konflik Agraria di Yogyakarta”. Diskusi tersebut akan dipantik oleh

1. Kus Antoro (Pusat Studi Keistimewaan DIY di UNU),
2. Sugeng Teguh Santoso (Sekjen PERADI)
3. Perwakilan Warga Dipoyudan

Mari merapat! Gratis untuk umum dan nikmati jajanan sore!
__________
Website: https://mapcorner.wg.ugm.ac.id/
Email: mapcornerklubmkp.fisipol@ugm.ac.id
Facebook: MAPCorner-KlubMKP
Instagram: mapcornerklubmkp
Youtube: MAP Corner
Line: @kbw7372v

Leave A Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Pelatihan MAP