Pelayanan Publik di Era Kenormalan Baru: Transformasi dan Tantangan ke Depan

Pandemi COVID-19 telah mengubah kebiasaan hingga struktur sosial dalam masyarakat. Apa yang sebelumnya dianggap tidak mungkin dilakukan, menjadi hal yang justru dilakukan oleh sebagian besar orang. Sebelum pandemi, kita tentu menganggap tidak rasional ketika orang-orang mengisolasi diri di rumah, pemerintah melarang orang berkumpul, jalanan ditutup, industri berhenti beroperasi, sekolah menggunakan media daring, hingga pelayanan publik yang secara serentak dilakukan secara online. Pada kenyataannya, hal tersebut terjadi hampir di setiap negara di dunia saat ini.

Sejak keberadaan COVID-19 diumumkan di Tiongkok pada Desember 2019, tanda-tanda berakhirnya pandemi ini masih belum diketahui. Kondisi tersebut memunculkan pertanyaan tentang sampai kapan masyarakat harus hidup dalam ketidakamanan dan ketidakpastian. Untuk menjawab hal tersebut, World Health Organization (WHO) mempromosikan kondisi yang dinamai new normal (kenormalan baru) dengan berbagai protokol yang perlu dijalankan dalam setiap aktivitas di tengah masih berlangsungnya ancaman pandemi. WHO memberikan beberapa syarat bagi negara yang akan menjalankan kenormalan baru, diantaranya: pertama, telah membuktikan penurunan transmisi COVID-19; kedua lembaga dan kapasitas kesehatan telah mumpuni dalam melaksanakan protokol kesehatan yang meliputi identifikasi, isolasi, pengujian, pelacakan kontak, dan karantina; ketiga, pengendalian risiko di daerah-daerah rentan; keempat, penerapan protokol kesehatan dilingkungan kerja;  kelima pengendalian risiko; dan keenam partisipasi masyarakat (WHO, 16/04/2020).

Pemerintah Indonesia melalui Presiden Joko Widodo, menyatakan akan menerapkan era kenormalan baru sebagaimana yang direkomendasikan WHO. Namun, berbagai kritik muncul terhadap kebijakan pemerintah tersebut, karena prasyarat penerapan kenormalan baru yang dibuat WHO masih belum sepenuhnya dapat dilakukan dengan baik oleh pemerintah Indonesia. Contohnya terkait pengendalian jumlah kasus COVID-19, di mana lonjakan angka kenaikan kasus masih disekitar 1.000 orang positif COVID-19 setiap harinya. Begitupula dengan kesiapan infrastruktur kesehatan dalam pengendalian resiko penularan hingga penanganan korban.

Untuk mendiskusikan tentang kebijakan kenormalan baru yang diterapkan pemerintah, Institute Governance and Public Affairs (IGPA), Magister Administrasi Publik (MAP), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada (UGM) menyelenggarakan diskusi dengan tema “Berdamai dengan COVID-19?: Agenda Kebijakan dan Pelayanan Publik di Era New Normal.” Terlepas dari polemik penerapan era kenormalan baru, diskusi online yang dijalankan oleh IGPA pada 16 Juni 2020 berfokus pada agenda kebijakan dan strategi pelayanan publik dari pemerintah di tengah masih berlangsungnya ancaman virus corona. Dalam diskusi ini dipantik oleh Ida Bagus Ray Mayra (Walikota Denpasar), Muhammad Jumadi (Wakil Walikota Tegal), Diah Natalisa (Deputi Bidang Pelayanan Publik Kementerian PAN-RB), Bima Haria Wibisana (Kepala BKN), Tri Widodo Wahyu Utomo (LAN), dan Wahyudi Kumorotomo (Guru Besar MAP FISIPOL UGM).

Ida Bagus Ray Mayra sebagai pemantik pertama, menyatakan bahwa ada dilema antara ekonomi dan kesehatan warga di tengah pandemi COVID-19 ini. Untuk tetap dapat menjalankan keduanya, ia sejak awal kemunculan wabah corona tidak melakukan penutupan wilayah di Kota Denpasar dalam pencegahan penyebaran virus tersebut. Langkah yang dilakukan adalah dengan mengembangkan komunitas lokal dalam pencegahan COVID-19 dan memaksimalkan internet untuk meminimalisir kontak fisik antar warga. Salah satu pemanfaatan teknologi digital tersebut adalah “dengan mengedepankan pelayanan publik secara online” ungkap Ida Bagus. Menurutnya tantangan yang dihadapi saat ini adalah meningkatkan kualitas layanan publik secara online.

Berbeda dengan Kota Denpasar, Kota Tegal menerapkan inisiatif local lockdown untuk mencegah menyebar COVID-19 di Kota Tegal. Menurut Muhammad Jumadi (Wakil Walikota Tegal), inisiatif tersebut membuahkan hasil, karena penyebaran COVID-19 di Kota Tegal dapat terkendali. Kamampuan mengendalikan penyebaran wabah ini, membuat Kota Tegal tetap membuka kawasan wisata dan pusat ekonomi walaupun dengan penerapan protokol kesehatan secara ketat. Kantor pemerintah juga tetap buka walaupun pemerintah tetap menekankan pelayanan publik secara online. “Dengan karantina wilayah lokal, kami telah mampu menjaga kesehatan warga dan juga menjaga ekonomi, dan dapat saya katakan Tegal sudah siap menjalankan new normal” ungkap Jumadi.

Terkait tentang pelayanan publik di era kenormalan baru, Diah Natalisa menilai tantangan dari pemerintah cukup berat karena harus mampu memenuhi harapan masyarakat terkait pelayanan publik, yaitu: adanya kepastian pelayanan, responsivitas pelayanan, dan kejelasan informasi pelayanan. Kementerian PAN-RB juga telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 58 Tahun 2020 yang berisi tentang petunjuk sistem kerja Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam tatanan normal baru. Untuk dapat memenuhi harapan masyarakat terkait pelayanan publik, Diah mengungkapkan perluanya lima strategi sebagai berikut: melakukan penyederhanaan proses bisnis dan SOP pelayan dengan memanfaatkan TIK; menggunakan media informasi untuk menyampaikan standar pelayanan; membuka media komunikasi online sebagai wadah konsultasi maupun pengaduan; memastikan kualitas output dari produk layanan; dan memperhatikan protokol kesehatan yang ditetapkan Menteri Kesehatan.

Sementara itu, Bima Haria Wibisana (Kepada BKN) menekankan bahwa di tengah krisis saat ini, maka inovasi menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Pelayanan publik secara online baginya adalah inovasi penting yang wajib dijalankan. Walaupun, Bima menyebut bahwa “kita saat ini kekurangan pegawai yang memiliki potensi IT, tetapi sangat kelebihan pegawai dengan fungsi administrasi.” Kondisi tersebut membuat perlunya pelatihan kemampuan teknologi dan juga perlu dipertimbangkannya penerimaan CPNS untuk kedepannya untuk menyertakan kualifikasi kemampuan IT.

Dalam hal pelayanan publik, menurut Bima, pemerintah daerah (Pemda) perlu memetakan tentang pekerjaan mana yang dapat dilakukan dengan Work from Home (WfH) dan Work from Office (WfO); monitoring output yang dikerjakan oleh ASN; melakukan analisis beban kerja dan menyusun kebutuhan pegawai di era new normal; dan presensi serta monitoring secara online. Permasalahan lain dari WfH adalah ketiadaan teknologi (seperti komputer, laptop, dan koneksi internet) di rumah, dan itu biasanya di alami oleh ASN di daerah perdesaan atau di daerah pinggiran. Di samping itu, ada fakta bahwa dengan WfH para ASN ada yang pekerjaannya menjadi berlebihan dan tidak ada waktu libur. Namun, berdasarkan data yang dimiliki BKN, ASN yang tanggungan pekerjaannya tinggi selama WfH sekitar 10%, sedangkan sekitar 60% justru dengan WfH beban pekerjaannya menjadi sangat kurang. Bima menyebut salah satunya adalah pekerjaan dibidang administrasi, ketika semua dilakukan secara daring, maka fungsi administrasi dijalankan oleh IT.

Sedangkan Tri Widodo Wahyu Utomo (LAN), menyebut jika pandemi COVID-19 di satu sisi memberi dampak positif, karena mendorong dengan cepat penerapan teknologi dalam birokrasi. Tantangan berikutnya menurut Tri Widodo adalah integrasi data antar lembaga dan antar mekanisme pelayanan. “Akan percuma jika penggunaan teknologi ini tidak disertai integrasi data, karena selama ini urusan kependudukan, kepegawaian, perpajakan, hingga pernikahan diselenggarakan oleh institusi-institusi yang berbeda, dan itu tidak efektif di era serba online” ungkap Tri Widodo. Sehingga baginya, dengan pengintegrasian data dan pelayanan, maka proses penyelenggaraan pemerintahan akan berjalan lebih efektif dan efisien.

Sementara itu, Wahyudi Kumorotomo (Guru Besar MAP FISIPOL UGM) mewanti-wanti bahwa kita perlu berhati-hati dan waspada di era kenormalan baru karena wabah COVID-19 belum berakhir. Ketidakwaspadaan menurutnya akan menyulut terjadinya wabah gelombang kedua yang bisa jadi lebih berbahaya. Kewaspadaan itu, termasuk dalam pelayanan publik, menurut Wahyudi karena saat ini kapasitas pemerintah dalam pengujian orang positif COVID-19 masih sangat rendah dan belum dijalankannya pelacakan korban secara sistematis. Dua hal itu yang menyebabkan data tentang korban masih terbilang tidak sepenuhnya menunjukan realitas yang ada di lapangan.

Menurut Wahyudi Kumorotomo, penyesuaian ke kenormalan baru dapat dilakukan jika suatu daerah sudah tidak ada kasus baru selama 14 hari berturut-turut. “Pada saat ini daerah-derah ingin menjalankan kenormalan baru padahal prasyarat untuk sampai ke sana belum mereka penuhi” ungkap Wahyudi. Padahal menurutnya jika fakta di lapangan tidak sesuai dengan prasyarat kenormalan baru, maka pemaksaan mencapai era tersebut justru akan menjadi bom waktu.

Leave A Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pelatihan MAP