Kerentanan Agama Menjadi Komoditas Politik

Pilkada DKI Jakarta 2017 menjadi hajatan politik terakhir yang kental akan politisasi agama. Kasus Al Maidah yang menyeret Basuki Tjahja Purnama ke penjara menjadi bukti utama nuansa tersebut. Beberapa kalangan mengkhawatirkan kekeruhan politik semacam itu kembali terulang pada Pilpres 2019. Ada ketakutan agama kembali dijual secara sembarangan untuk merebut kekuasaan. Perdebatan soal boleh tidaknya masjid dijadikan tempat perbincangan politik akhir-akhir ini, mulai membuat iklim politik menjadi tidak produktif.

Untuk merespon kekhawatiran ini, dan dalam rangka peringatan 20 tahun reformasi, MAP Corner-Club menggelar diskusi berjudul Agama, Komodifikasi, dan Kekuasaan di lobi MAP Fisipol UGM, pada Selasa (8/5). Pemantik diskusi kali ini adalah Abdul Gaffar Karim, dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM.

Berbicara mengenai hubungan antara politik dengan agama, Gaffar bercerita sejarah kemunculan keduanya. Menurut Gaffar, berdasarkan penelusuran literatur yang ia lakukan, ada kaitan antara perkembangan agrikultur dengan politik dan agama. Ini dikarenakan agrikultur (cocok tanam) menimbulkan kelebihan makanan untuk disimpan. Ini berbeda dengan cara hidup sebelumnya, yaitu berburu. Kebutuhan untuk mengelola simpanan makanan ini memunculkan benturan kepentingan yang disebut politik.

Aktivitas agrikultur dalam perjalanannya mendapatkan berbagai gangguan dari alam, yaitu hujan, banjir, angin, hingga badai. Faktor inilah yang membuat manusia mulai memikirkan adanya kekuatan yang berada jauh di luar kendalinya. Lalu muncullah dewa-dewa. Maka muncullah agama. “Jadi, politik dan agama lahir dari rahim yang sama,” jelas Gaffar.

Selanjutnya, Gaffar berpendapat bahwa maraknya kasus politisi yang menjadikan agama sebagai komoditas politik disebabkan oleh sifat agama yang memiliki likuiditas tinggi. Agama adalah identitas manusia yang paling mudah dijual. Sensitivitas agama melebihi identitas suku, ras, dan kelas sosial. “Kalau kita perhatikan, turisme yang paling besar di dunia adalah religious tourism. Orang rela menabung, menahan konsumsi, untuk religious tourism,” kata Gaffar. Ia kemudian bercerita bahwa di kampung halamannya, di Madura, keinginan untuk berangkat haji sangat kuat sampai membuat keinginan membeli kendaraan bermotor dikesampingkan. Belum lagi apabila kita memperhatikan tingginya minat umrah yang diiringi kasus penipuan. Fenomena global ini membuat negara-negara yang menjadi tujuan utama religious tourism berlimpah uang. “Agama menjadi lahan basah”, tambah Gaffar.

“Agama adalah identitas yang paling mudah untuk menegaskan siapa kita,” Gaffar masih lanjut membahas hubungan agama dengan identitas. Menurutnya, bahkan agama dapat membuat kita bisa merasa bersaudara dengan siapa dan bermusuhan dengan siapa. Ia bercerita pengalamannya saat masih kuliah di Australia. Tiba-tiba saja ada orang yang menyapa dan mengajaknya berbicara hanya karena ia berjalan dengan perempuan berjilbab sehingga membuat orang asing itu berkesimpulan bahwa Gaffar adalah orang Islam.

Karena sifatnya yang demikian, kata Gaffar, agama cepat sekali dipakai untuk kepentingan ekonomi dan politik. Misalnya, untuk kepentingan ekonomi, baru-baru ini muncul produk kulkas halal. Ada juga produk lain yang muncul lebih dulu seperti kosmetik halal, parfum halal, dan ojek syariah. Meskipun beberapa kalangan memandang sinis, tapi produk semacam ini berhasil membuka segmen pasar tersendiri dan meraup keuntungan.

Dari segi kepentingan politik, agama adalah bahan bakar mesin politik yang efektif. “Ketika ingin menggunakan nasionalisme sebagai dasar perjuangan politiknya, orang harus bekerja keras. Itulah kenapa politisi yang malas (akan-red) menggunakan agama. Bahan-bahannya sudah siap,” ujar Gaffar.

Namun, dengan munculnya peristiwa negatif saat agama bertaut dengan politik akhir-akhir ini, Gaffar tidak setuju jika agama dipisahkan dengan politik. “Saya juga tidak sependapat dengan larangan berbicara politik di rumah agama. Tidak mungkin sebuah rumah ibadah tidak berbicara politik,” cetus Gaffar. Sebaliknya, yang perlu dilakukan adalah membuat agama bisa mendorong politik ke arah yang lebih produktif, bukan merusak. “Tapi, kini kecenderungannya agama dipakai oleh politisi yang sudah mati gaya,” lanjut Gaffar. Ia bahkan menegaskan, maraknya kasus korupsi belakangan ini adalah tanda bahwa politik sudah terlalu jauh dari agama. Sebab, moral agama tidak lagi menjadi kontrol bagi para politisi dalam melaksanakan tugasnya.

Gaffar pun menyebut kemandekan kreativitas politik di Indonesia disebabkan oleh absennya ideologi di kalangan partai politik. “Partai politik kalau kita kategorikan, mungkin akan menumpuk di wilayah yang sama,” cetus Gaffar. Mungkin partai yang cukup jelas ideologinya adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Keadilan Sejahtera. Namun, apabila melihat peta koalisi kedua partai ini, tetap saja bikin bingung. Di level nasional, kedua partai ini tampak sangat berseberangan. Akan tetapi, di level daerah, ada calon kepala daerah yang didukung oleh kedua partai tersebut. Kenyataan ini memperlihatkan tidak adanya komitmen ideologi yang jelas dari kedua partai tersebut.

Gaffar membandingkan kondisi ini dengan negara yang sudah mantap dengan dua arus utama ideologi politik. Mudah bagi masyarakat di negara semacam ini untuk menentukan pilihan berdasarkan program konkret dari kandidat. “Misalnya, kalau kita memilih si A, pajak akan naik sehingga pelayanan publik akan semakin baik. Sedangkan kalau memilih si B, pajak akan diturunkan, pelayanan publik akan biasa-biasa saja, tapi industri lebih bergerak,” kata Gaffar. Sedangkan di Indonesia publik mesti meraba-raba keberpihakan para calon kandidat. Pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang efek hasil pemilu terhadap masing-masing individu sering kali menemui jalan buntu. “Sederhananya, apa sih bedanya UKT (Uang Kuliah Tunggal-red) di UGM kalau Jokowi atau Prabowo yang menang? Internet akan lebih kencang kalau Prabowo yang jadi Presiden atau Jokowi?” tanya Gaffar kepada peserta diskusi. Gaffar menyayangkan para politisi kini bicaranya hal-hal yang abstrak. Ia memberi contoh tentang pertarungan tagar antara #2019GantiPresiden dengan #2019TetapJokowi. Kedua narasi ini, menurut Gaffar, sama-sama tidak punya alasan yang jelas. “Kenapa harus diganti? Kenapa harus dua periode?” Gaffar kembali bertanya. Opsi yang tak kredibel dan pertahanan yang gamang semacam inilah yang membuat keputusan-keputusan politik akhirnya berdasar pada agama. Lagi-lagi agama yang dijual.

Tidak hanya karena amburadulnya partai politik, tapi komodifikasi agama juga disebabkan oleh lemahnya kontrol negara. Kondisi ini membuat masyarakat bebas bermain hakim sendiri. “Misalnya kasus kumpul kebo. Masyarakat kadang tidak memerlukan pembuktian. Mereka hanya berdasar pada moralitas agama saja untuk bertindak,” lanjut Gaffar. Ia berpendapat, ketidakhadiran negara telah memicu penggunaan agama sebagai tameng perbuatan semena-mena. “Janji Jokowi untuk menghadirkan negara yang tercantum dalam Nawacita menarik untuk ditunggu,” kata Gaffar. Walaupun, kehadiran negara tidak bisa ditafsirkan hanya dengan kehadiran fisik, misalnya dengan membangun infrastruktur saja. Namun, kata Gaffar, secara sosial negara juga perlu hadir.

Gaffar kemudian menjelaskan risiko-risiko yang bakal terjadi apabila kita memainkan isu agama demi kekuasaan. Pertama, risiko minimal berupa melemahnya kontrol. “Masyarakat tidak lagi mengawal politisi. Padahal, demokrasi memerlukan keraguan. Warga yang kritis terhadap pemimpin akan lebih berguna dalam sistem demokrasi daripada hanya mendukung. Kalau orang berkuasa tapi tidak ada kritik terhadapnya, maka rusak segala urusan,” jelas Gaffar.

Risiko yang kedua adalah tensi politik yang berkepanjangan. Konflik Pilkada DKI Jakarta 2017 bahkan masih terasa hingga sekarang. Pendukung pihak yang menang akan cenderung membungkam kritik pihak yang kalah. “Sekarang kalau orang mengkritik, selalu ditanya: lalu apa solusinya? Demokrasi tidak menuntut rakyat mencari solusi. Demokrasi butuh kritik. Solusinya ya dipikirkan penguasa yang sudah dibayar dengan uang rakyat,” cetus Gaffar.

Terakhir, risiko yang paling fatal adalah kehancuran negara. “Tidak perlu menunggu tahun 2030 kalau komodifikasi agama terus dijalankan. Kita sudah melihat India dan Pakistan berpisah hanya karena agama. Kita tidak bisa bermain-main. Ini sudah ada dalam sejarah dunia. Jangan mengira Indonesia sudah aman dari risiko ini,” kata Gaffar.

Leave A Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pelatihan MAP