IRONI KEBUNGKAMAN KAMPUS MERESPON RAZIA BUKU

“Buku adalah jendela ilmu, buku adalah surga pengetahuan”, begitu kurang lebih jargon yang sering kita temui saat berkunjung ke perpustakaan. Namun, jika buku adalah jendela ilmu atau surga pengetahuan, mengapa ada beberapa pihak yang melakukan pelarangan peredaran buku?

Sebagaimana diberitakan di media massa, pada awal bulan Agustus 2019, kelompok masyarakat yang mengatasnamakan diri mereka Brigade Muslim Indonesia, melakukan sweeping buku-buku kiri di Gramedia Makassar. Mereka menganggap buku-buku tersebut berbahaya dan dilarang oleh negara berdasarkan TAP MPRS Nomor XXV tahun 1966. Pada bulan sebelumnya di Ponorogo, aparat melarang komunitas lapak baca membawa buku-buku kiri. Alasannya pun kurang lebih sama.

Di tengah pro-kontra yang terjadi di masyarakat dalam menyikapi kembali terjadinya aksi razia buku dalam beberapa bulan terakhir, MAP Corner-Klub MKP UGM pada hari Selasa, 20 Agustus 2019 mengangkat diskusi dengan tema “Razia Buku dan Masa Depan Literasi”. Dalam diskusi yang penuh sesak dihadiri sekitar 80 orang ini, menghadirkan dua pemantik: 1) Eko Prasetyo (Direktur Social Movement Institute); 2) A.B. Widyanta (Dosen Sosiologi UGM).

A.B. Widyanta, melihat razia buku di Indonesia hampir semuanya menyasar buku-buku kiri. Hal ini menurutnya karena masih terus langgengnya diskursus dari rezim kebenaran yang menyatakan bahwa buku kiri itu terlarang. Diskursus ini diproduksi sejak meletusnya peristiwa 1965 dan direproduksi sampai sekarang.

“Ada ironi antara razia buku dengan sikap kampus” ungkapnya. Dia menilai bahwa kampus adalah tempat yang paling membutuhkan buku, karena di kampus adalah rahim di mana produksi dan polemik pengetahuan terjadi. Namun, saat terjadi pelarangan terhadap buku, kampus justru malah diam saja dan hal itu seolah membenarkan tindakan razia tersebut.

Senada dengan Widyanta, Eko Prasetyo menganggap kebungkaman ini karena mulai hilangnya nalar kritis di kampus. Eko menceritakan bagaimana pada periode tahun 1990an, kampus menjadi tempat tumbuhnya pemikiran-pemikiran kritis. Penerbitan buku-buku kiri pada masa itu, digawangi oleh para jebolan aktivis mahasiswa. Sementara para dosen-dosen muda terlibat menulis buku-buku yang progresif dan ide-ide radikal. Sambil berkelakar dia mengatakan “…dikarenakan saat itu para dosen tidak sibuk dengan urusan proyek”.

Kebungkaman kampus merespon razia buku ini menurut Widyanta karena civitas akademik tidak membutuhkan buku-buku itu. “Kalau mereka butuh, pasti akan melawannya” tambahnya. Hal itu tidak terlepas dari semakin sedikitnya wacana ilmu kritis di kampus, sedangkan mereka lebih disibukan dengan urusan pragmatis

(tim IGPA).

 

Leave A Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pelatihan MAP