Tidak Kerja, Tidak Makan: Kondisi Pekerja Rentan di Tengah Pandemi Covid-19

Santosa (30 tahun), seorang “mitra” ojek online tampak senang ketika ada pemberitahuan di layar ponsel pintarnya bahwa ada pesanan yang masuk. Itu adalah pesanan kedua setelah hampir lima jam dia mengaktifkan aplikasi. “Susah sekarang mas sejak Corona ini, jadi sepi order,” ungkapnya sambil menaiki motor untuk menjemput makanan yang dipesan oleh pelanggan.

Hal senada dialami oleh Jayadi (55 tahun), seorang penjual makanan, dan Suniyah (35 tahun) yang bekerja sebagai pedagang kopi di sebuah tempat wisata pantai di Gunung Kidul. Mereka juga mengalami penurunan pendapatan sejak wabah virus corona menyebar. Omset dari Jayadi turun sampai 80 persen, sedangkan pendapatan bersih dari Suniyah turun sekitar 50 persen. “Sebelumnya sekitar 30-40 ribu sehari sekarang paling dapet 10-20 ribu saja sehari”, ujar Suniyah.

Pandemi Covid-19 (Coronavirus Disease 2019) tidak hanya menimbulkan krisis kesehatan secara global, namun juga memberikan dampak yang signifikan di sektor ekonomi.[1] Sejak Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan social distancing (atau physical distancing) dalam merespon wabah Covid-19 pada 15 Maret 2020[2], terjadi penurunan aktivitas ekonomi. Wabah ini telah membuat warga takut untuk keluar rumah dan menjalankan aktivitas rutin sehari-hari, sehingga aktivitas ekonomi menjadi berkurang drastis.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan dampak resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19 dalam skala global akan membuat 25 juta pekerja dipecat atau dipotong upahnya.[3] Di kota besar seperti Jakarta, data dari Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi DKI menunjukan bahwa ada 139.288 pekerja di-PHK dan dirumahkan tanpa mendapatkan upah sebagai dampak dari pandemi ini.[1] Sementara di Yogyakarta, ada sebanyak 14.529 pekerja yang dirumahkan maupun di-PHK.[2] Para pekerja formal yang sebelumnya dalam kategori International Labor Organization (ILO) disebut sebagai “pekerja layak”, harus terlempar menjadi “kelompok rentan” karena mereka di-PHK dan dirumahkan sebagai dampak dari krisis. Mereka adalah bagian dari “kelompok rentan baru” dengan kehidupan yang tidak pasti, kondisi hidup yang telah lama dialami oleh para pekerja rentan lainnya yang bekerja di sektor informal.

Konsep pekerja rentan cukup relevan digunakan dalam menganalisis dampak wabah Covid-19 terhadap para pekerja yang kondisi hidupnya tidak menentu dan dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. ILO menggambarkan pekerjaan dari pekerja rentan sebagai “pekerjaan dengan kualitas yang buruk, tidak produktif dan pendapatannya rendah, tidak diakui dan dilindungi secara hukum, absennya hak-hak saat bekerja, dan tidak memadainya perlindungan sosial.”[3] Pekerja rentan atau pekerja yang terabaikan hak-hak mendasarnya ini, dibagi ILO dalam dua kategori, yaitu pekerja mandiri dan pekerja keluarga tidak dibayar. Dengan melihat situasi ketenagakerjaan di Indonesia, pemerintah memasukan satu kategori lagi ke dalam pekerja rentan, yaitu pekerja lepas (casual workers). ILO mendukung penambahan kategori tersebut dan menyebutnya sebagai “karena watak pekerja kasual di Indonesia yang seringkali bersifat informal dan kekurangan kondisi kerja yang layak”.

Kesulitan hidup yang dihadapi oleh pekerja rentan pada saat pandemi Covid-19, menjadi latar belakang penelitian yang dilakukan oleh IGPA (Institute of Governance and Public Affairs) MAP FISIPOL UGM dan Forbil Institute yang ditampilkan dalam esai ini. Kami menggunakan pendekatan kualitatif dalam proses pengambilan data. Di tengah berlangsungnya pandemi, kami melakukan wawancara secara online atau melalui telepon dengan 8 responden yang masuk kategori pekerja rentan yang berdomisili di Yogyakarta. Provinsi Yogyakarta dipilih, karena salah satu kota besar yang dianggap memiliki banyak pekerja rentan. Menurut Badan Pusat Statistik  (BPS) pada 2019[1], angka kemiskinan DIY adalah 11,7, lebih tinggi dari angka nasional 9,41. Yogyakarta berada di urutan 12 angka kemiskinan tertinggi, dan menjadi yang termiskin di Pulau Jawa. Rasio gini atau ketimpangan pendapatan di DIY merupakan yang tertinggi di Indonesia, yaitu 0,423.

Pertimbangan lainnya bahwa Yogyakarta memiliki karakteristik masyarakat yang majemuk, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Ini disebabkan karena Yogyakarta merupakan salah satu destinasi wisata favorit para wisatawan, baik domestik atau mancanegara. Ini juga yang menyebabkan banyak masyarakat Yogyakarta menggantungkan hidup dalam bisnis pariwisata. Selain itu, Yogyakarta juga dikenal sebagai kota pelajar. Ratusan ribu pelajar dari berbagai daerah datang dan pergi setiap tahunnya.

Dampak bagi Pekerja Rentan

Pandemi Covid-19 memberikan dampak ganda bagi para pekerja rentan dan “kelompok rentan baru” seperti Santosa, Jayadi, dan Suniyah. ILO menyebut pekerja rentan adalah para pekerja dengan kondisi hidup tidak menentu, baik dari sisi pendapatan, jam kerja, hingga ketiadaan jaminan kesehatan dan jaminan masa tua. Para pekerja rentan ini menjadi kelompok masyarakat yang paling terpukul akibat wabah Covid-19. Mereka selama ini menggantungkan hidupnya pada pendapatan harian, sehingga menurunnya aktivitas ekonomi berpengaruh pada pendapatan dan kualitas hidup mereka.

Para pekerja rentan yang menopangkan hidup mereka pada pendapatan harian, pada kenyataannya tetap bekerja walaupun pemerintah menerapkan kebijakan physical distancing (menjaga jarak fisik). “Tidak bekerja, tidak makan” ungkap Jayadi, salah seorang pekerja mandiri, untuk menggambarkan keterpaksaannya untuk tetap bekerja demi tetap bertahan hidup. Himbauan dari pemerintah untuk mengisolasi diri selama dua minggu memang cukup efektif memutus rantai penularan virus, namun bagi pekerja rentan, hal ini berarti akan memutus sumber pendapatannya juga.

Para pekerja ini tidak hanya mengalami kerentanan dalam hal ekonomi, akan tetapi dalam hal kesehatan juga. Mereka cenderung memiliki potensi yang lebih besar untuk tertular virus corona karena tetap beraktivitas di tengah wabah yang semakin meluas. Para pengemudi ojek online, pedagang kecil, tukang becak, hingga tukang pijat, mengalami kerentanan tertular karena pekerjaan mereka menuntut untuk berinteraksi dengan banyak orang. Santoso menyadari bahaya itu, namun dia tidak punya pilihan lain selain harus tetap bekerja. “Ya pasti tau kalau itu bahaya, yang penting tetap waspada mas, soalnya kalau gak kerja, keluarga gak bisa masak” ungkapnya.

Tabungan sebagai Sandaran Hidup

Walaupun tetap bekerja, para pekerja rentan ini mengalami penurunan pendapatan secara drastis dan bahkan ada yang tanpa pendapatan. Jayadi seorang penjual makanan yang mengaku setelah ada virus corona ini pendapatannya berkurang hingga 70-80% karena pembelinya berkurang drastis. Hal senada dialami oleh Johan (25 tahun), seorang operasional Kedai Kopi di Yogyakarta mengaku mengalami penurunan pendapatan sebesar 75%. “Sejak ada Covid-19, para pelanggan terutama mahasiswa pada takut keluar rumah, jadi anjlok penjualannya” sebut Johan. Menurutnya, jika kondisi seperti ini berlangsung lebih dari bulan Juni 2020, kemungkinan besar pemilik kedai kopi dapat menutup bisnisnya yang juga berakibat merumahkan para pekerjanya.

Hal serupa dialami oleh Dayat (38 tahun), pekerja mandiri yang juga membangun usaha wisata dengan warga desanya di Kulonprogo. Dengan adanya pandemi Covid-19, dia dan warga desanya harus menutup kegiatan wisata yang mereka kelola. Hal ini mengakibatkan mereka tidak bekerja sama sekali. Dengan suara yang terdengar sayu, Dayat bercerita bahwa “ada 51 pengelola, 4 warung warga, 3 penjaga bood wisata, dan 15 pemilik lahan yang sekarang gak ada pemasukannya.” Dikarenakan tanpa pendapatan, maka mereka mengandalkan tabungan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Covid-19 juga berdampak pada Setyo (47 tahun), seorang pengusaha yang memiliki bisnis agen travel wisata yang cukup besar di Yogyakarta. Sebelum adanya pandemi pendapatannya dapat mencapai 20 juta/bulan, tetapi semenjak datangnya pandemi, bisnisnya menjadi sepi, karena orang-orang menjadi takut berwisata. Akhirnya dia memutuskan untuk merumahkan seluruh pekerjanya. Namun, walaupun tidak lagi memiliki pendapatan bulanan, Setyo memiliki tabungan yang lumayan besar sehingga mampu menunjang hidupnya sehari-hari.

Berbeda dengan Setyo, Jayadi yang berjualan makanan, kebutuhan pokok hariannya dipenuhi dengan cara turut mengkonsumsi makanan jualannya. Namun, dia terpaksa harus mengambil modal usaha warungnya ketika dihadapkan dengan kebutuhan bulanan, misalnya untuk membayar listrik, air, hingga makanan hewan peliharaan. Itu karena Jayadi tidak memiliki tabungan seperti halnya Setyo, karena selama ini usahanya hanya cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Kini Jayadi tetap berjualan makanan walaupun dipenuhi dengan berbagai kekhawatiran. “Jika wabah ini gak cepat selesai, modal jualan saya bisa habis dan gak bisa jualan lagi” ungkapnya.

Kondisi yang lebih menyulitkan harus dialami oleh Giyem (41 tahun), perempuan paruh baya yang tinggal di pinggir Kota Yogyakarta. Sebagai pekerja mandiri yang menawarkan jasa pijat, sejak mengemukanya wabah Covid-19, dia tidak lagi mendapatkan pesanan untuk jasa pijatnya. Di tengah kondisi tersebut, apalagi dengan tanggungan sekeluarga ada empat orang, dia akhirnya memenuhi kehidupan sehari-hari dengan berhutang senilai Rp 2.000.000,- ke Dasawisma (Kelompok Ibu-ibu di lingkup sekitar rumah). Giyem menyebut dia berhutang karena terdesak oleh keadaan, “ya karena gak ada pemasukan mbak, karena tiap hari harus masak, jadinya ya hutang.” Hal itu dilakukan karena dia tidak memiliki tabungan yang cukup untuk bertahan hidup di tengah lesunya kondisi ekonomi.

Jika Giyem harus berhutang, situasi berbeda dialami oleh Suniyah. Dikarenakan tinggal di kawasan perdesaan, Suniyah tetap bisa mencukupi kebutuhan sehar-hari tanpa harus mengambil dana dari tabungan walaupun pendapatannya menurun sampai 50%. Suniyah bercerita bahwa di halaman rumahnya ada tanaman sayuran dan dia juga masih memiliki simpanan beras hasil panen dari sawahnya, sehingga kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi dengan adanya cadangan sumber daya ini.

Melihat dampak ekonomi dari pandemi Covid-19 di atas, menunjukan kepada kita bahwa kondisi pekerja rentan pada kenyataannya berbeda-beda. Perbedaan tempat tinggal antara desa dan kota hingga perbedaan kepemilikan properti dan jenis usaha atau pekerjaan, berbeda pula cara mereka bertahan hidup di tengah-tengah krisis. Bagi pekerja rentan yang hidup di daerah perkotaan, tantangan mereka lebih berat, apalagi yang memiliki jumlah tanggungan keluarga yang banyak dan hidup di kontrakan atau kos-kosan. Selain harus berpikir bagaimana cara agar tetap bisa makan, mereka juga harus berpikir keras tentang bagaimana cara untuk membayar kos/kontrakan.

Perlindungan Sosial untuk Pekerja Rentan

Pada kenyataannya, dampak wabah Covid-19 menempatkan pekerja rentan sebagai salah satu kelompok masyarakat yang paling terdampak, walaupun ada perbedaan kondisi dan kebutuhan dari masing-masing jenis pekerjaan. Situasi tentang kapan berakhirnya wabah ini masih penuh tanda tanya besar, sehingga jika semakin lama kondisi ini berlangsung, maka akan semakin membawa pekerja rentan dalam kehidupan yang semakin tidak menentu.

Untuk mengurangi dampak yang dihadapi oleh para pekerja rentan, pemerintah dapat mengambil kebijakan dalam dua bentuk. Pertama, selama masa pandemi berlangsung; kedua, pada saat pandemi ini telah berakhir.

Pada saat pandemi Covid-19 masih berlangsung, maka hal yang paling penting untuk dipenuhi adalah kebutuhan mendasar masyarakat, yaitu kebutuhan pokok. Kebijakan stimulus dari pemerintah perlu menyasar permasalahan ini. Saat ini pemerintah telah mengeluarkan kebijakan “kartu sembako”, akan tetapi tidak semua pekerja rentan mendapatkannya. Hasil penelitian kami menunjukan bahwa delapan pekerja rentan yang kami wawancara, tidak ada satupun yang mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah.

Melalui kebijakan pemenuhan kebutuhan pokok, maka pekerja rentan tidak perlu harus berhutang dan menguras tabungannya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Langkah yang dapat dilakukan pemerintah adalah mendorong pendataan secara massal para pekerja rentan dan kelompok masyarakat lain yang perlu dipenuhi kebutuhan pokoknya, melalui perluasan “kartu sembako”. Kebijakan ini dapat dimulai di daerah zona merah yang merupakan episentrum penularan Covid-19 dan tempat di mana aktivitas ekonomi mengalami penurunan yang drastis.

Kedua, pasca pandemi Covid-19 ada kebutuhan dari pekerja rentan, terutama pekerja mandiri yang memiliki bidang usaha, yaitu untuk mendapatkan kredit yang terjangkau. Dengan kredit yang murah dan terjangkau, maka para pedagang kecil dapat mengaksesnya, sehingga mereka akan tetap dapat menjalankan aktivitas ekonomi pasca-wabah ini berakhir. Selain itu, bagi para pekerja rentan dan “kelompok rentan baru”, mereka membutuhkan agar tetap disokong kebutuhan pokoknya sampai akhirnya situasi ekonomi menjadi normal kembali.

Belajar dari pandemi Covid-19, kita dapat melihat bahwa masyarakat, terutama kelompok rentan, membutuhkan adanya jaminan kesehatan dan jaminan sosial. Pada situasi krisis seperti akibat pandemi Covid-19 ini, kategori kelompok rentan tidak hanya pekerja mandiri, pekerja keluarga tidak dibayar, dan pekerja lepas, namun ada kelompok rentan baru, yaitu mereka yang terlempar dari pekerjaan layak. Kelompok rentan baru ini adalah para pekerja formal yang di-PHK atau dirumahkan akibat terjadinya krisis. Hal tersebut, menjadikan kondisi hidup mereka sama tidak menentunya dengan para pekerja rentan yang lain, walaupun, mereka cenderung memiliki tabungan lebih banyak atau keterampilan mumpuni dibanding pekerja rentan yang lain.

Ketidakmenentuan dan kesulitan hidup menjadikan kelompok rentan ini memerlukan jaring pengaman sosial, seperti jaminan kesehatan dan jaminan sosial. Melalui penyediaan jaminan kesehatan dan jaminan sosial, maka kehidupan masyarakat yang paling rentan menjadi terlindungi, baik pada saat tidak ada krisis maupun pada saat krisis. Dengan adanya perlindungan sosial ini, pekerja rentan dapat tetap hidup dalam kondisi sehat dan tetap mampu bekerja untuk memenuhi kehidupan mereka dan keluarganya pada hari depan. Tanpa jaminan kesehatan dan jaminan sosial, maka krisis akibat pandemi Covid-19 ini akan merenggut harapan dan kehidupan kelompok rentan.

 

[1] Stephanie Segal & Dylan Gerstel, “The Global Economic Impacts of COVID-19”, Website CSIS (10 Maret 2020)

[2] Lihat Kompas, “Jokowi: Kerja dari Rumah, Belajar dari Rumah, Ibadah di Rumah Perlu Digencarkan”, sumber: https://nasional.kompas.com/read/2020/03/16/15454571/jokowi-kerja-dari-rumah-belajar-dari-rumah-ibadah-di-rumah-perlu-digencarkan

[3] Lihat Tha Jakarta Post, “Pandemic could Make Another 25 Million Jobless: UN”, sumber: https://www.thejakartapost.com/news/2020/03/19/pandemic-could-make-another-25-million-jobless-un.html

[4] Lihat Kompas, “Dampak Covid-19, Sebanyak 139.288 Pekerja di Jakarta Kena PHK dan Dirumahkan”, sumber: https://megapolitan.kompas.com/read/2020/04/05/09262471/dampak-covid-19-sebanyak-139288-pekerja-di-jakarta-kena-phk-dan

[5] Lihat Radar Jogja, “14.529 Pekerja Di-PHK dan Dirumahkan”, sumber: https://radarjogja.jawapos.com/2020/04/07/14-529-pekerja-di-phk-dan-dirumahkan/

[6]  ILO, Decent Jobs and Informal Economy, Report VI Submitted to the 90th Session of International Labor Conference (Jenewa: ILO, 2002), hal.4.

[7] Lihat DI Yogyakarta dalam Angka pada tahun 2019, data bisa diakses di https://yogyakarta.bps.go.id/

 

Penelitian dilakukan oleh tim peneliti dari IGPA MAP FISIPOL UGM dan Forbil Institute, dengan anggota:

Arika Bagus P,

Arif N,

Audori Fathin,

Afal Ranggajati,

Anindya Dessi W,

Dyah Ratih S,

Rini Wijayanti, dan Yuni Murwani W.

 

Leave A Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pelatihan MAP