Magister Ilmu Administrasi Publik (MAP), FISIPOL Universitas Gadjah Mada (UGM) memperingati Lusrum ke 6 atau ulang tahun yang ke 30 pada tahun 2023. Dalam peringatan lusrum ke 6 ini, MAP FISIPOL UGM menyelenggarakan seminar nasional bertajuk “Digital Governance: Peluang dan Tantangan” pada hari sabtu, 21 Oktober 2023. Dalam seminat nasional yang dilangsungkan di ruang seminar MAP FISIPOL UGM tersebut, dibagi dalam 3 sesi dan ada 9 orang pembicara, 3 diantaranya merupakan alumni MAP FISIPOL UGM.
Pada pembukaan acara, Dekan FISIPOL UGM yaitu Dr. Wawan Mas’udi menyampaikan kata sambutannya. Wawan Mas’udi menyebut bahwa MAP saat ini telah berkontribusi dalam transformasi tata kelola pemerintahan melalui jaringan alumni yang tersebar luas di seluruh Indonesia, baik di dalam negeri maupun luar negeri. “Banyak inovasi digital di sektor pemerintahan yang telah tercipta karena dorongan dari MAP” ungkap Wawan. Dalam diskusi publik yang dimoderatori oleh Dr. Wahyu Riawanti, MP yang merupakan alumni S3 ilmu Administrasi Publik, menghadirkan para pembicara yang ahli di bidang digital governance.
Sesi Pertama
Dalam sesi pertama, Choiril Ustadi Yudawanto, S.IP., M.Si. (Asisten Administrasi Umum Kab. Banyuwangi) menyampaikan bahwa di Banyuwangi menerapkan pendekatan digital melalui smart kampung, mall pelayanan publik dan program lainnya dalam meningkatkan pelayanan publik. Melalui berbagai inovasi tersebut Kabupaten Banyuwangi berhasil memperoleh peringkat 1 kabupaten berkinerja tinggi, peringkat 1 kabupaten terinovatif, dan SAKIP A selama 7 tahun berturut-turut.
Sementara itu, Dr. Deddy Winarwan, S.STP., M.Si. (Pj Bupati Barito Selatan) juga menekankan tentang pentingnya peran pemimpin yang inovatif agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, meningkatkan kualitas layanan, serta daya saing daerahnya. “Ya, salah satunya melalui inovasi dalam digitalisasi tata kelola pemerintahan” ungkapnya. Terkait kondisi saat ini, Kabupaten Barito dalam menerapkan digital governance masih menghadapi berbagai tantangan, diataranya adalah keterbatasan anggaran, blindspot signal komunikasi, SDM, literasi digital serta keamanan data.
Prof. Dr. Agus Pramusinto, MDA (Komisi Aparatur Sipil Negara-KASN) sebagai pembicara terakhir dalam Sesi Pertama, menyampaikan bahwa digitalisasi semestinya tidak hanya sebatas jargon. Ia mencontohkan msalnya, izin penelitian sudah diurus secara online, namun hasilnya masih harus diambil secara manual ke Jakarta.
Setelah ketiga pembicara menyampaikan materinya, Prof. Sofyan Effendi sebagai akademisi senior MAP FISIPOL UGM menyampaikan responnya. Sofyan Effendi menyampaikan upaya digitalisasi sudah ada sejak era Presiden Habibie dimana ia menggunakan email untuk berkomunikasi dengan jajaran kabinetnya. Namun, permasalahan muncul ketika jajaran kabinet tidak memiliki kapasitas untuk berkomunikasi via emai. Sehingga, meskipun teknologinya sudah ada, tetap perlu mempersiapkan SDM agar terlatih.
Sesi Kedua
Pada Sesi Kedua, dimulai oleh Agi Agung Galuh Purwa, S.STP., MSc., MPA. (Sekretaris Dinas Kominfo Jawa Barat). Menurut Agi Agung Galuh Putra, fungsi digitalisasi adalah “untuk memudahkan pengguna layanan yaitu masyarakat.” “Pada konteks itu, maka dalam setiap digitalisasi selalu menonjolkan aspek kemudahan bagi pengguna” sebutnya.
Sementara itu, Drs. Tri Budi Prayitno, M.Si (Kepala Dinas Pemuda & Olahraga Pemprov NTB) menyampaikan bahwa persoalan terkait tata kelola berbasis digital yang dialami setiap daerah berbeda-beda. Pada kasus di Nusa Tenggara Barat (NTB), Tri Budi Prayitno menyatakan bahwa “di sini ada kekurangan kemampuan digital.” Keterbatasan kemampuan digial ini tidak hanya dialami oleh Aparatur Sipil Negara (ASN), tetapi juga pengguna layanan yaitu masyarakat.
Pada akhir Sesi Kedua, Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, MPP (Ketua Departemen, Guru Besar FISIPOL UGM) mewanti-wanti jangan sampai penerapan digital governance justru tidak mencapai tujuannya. “Ada keluhan bahwa digital governance bukannya memudahkan, tapi malah meribetkan pengguna” sebutnya. Selain itu, pemanfaatan digital governance menurut Wahyudi Kumorotomo seringkali tidak dapat digunakan secara inklusif, karena lebih banyak yang mendapatkan dampak positifnya adalah perusahaan besar, tidak untuk pedagang pecel skala kecil, pedagang angkringan, dan pedagang kecil yang lain.
Sesi Ketiga
Siti Nadia Tarmizi, M. Epid (Kepala Biro Komunikasi & Pelayanan Publik Kemenkes) memulai sesi ketiga dengan menunjukkan proses digitalisasi di Kementerian Kesehatan. Siti Nadia mengungkapkan bahwa “kita memperkuat SPBE bukan hanya banyak-banyakan aplikasi, yang mana jadinya bisa merepotkan masyarakat, tapi yang kami tekankan adalah bagaimana layanan digital itu dapat memudahkan masyarakat.”
Sedangkan Asmawa Tosepu, A.P., M.Si (Pj Walikota Kendari) menyampaikan untuk membuat digitalisasi menjadi memudahkan masyarakat, perlu adanya komitmen dari pemimpin. Dalam proses digitalisasi, berbagai program telah dijalankan di Pemerintahan Kota Kendari. “Salah satu trobosan kami adalah program Dering Asmara, untuk menampung aspirasi masyarakat” sebut Asmawa Tosepu. Peluncuran Dering Asmara ini, untuk merespon adanya fakta bahwa Kota Kendari adalah menjadi salah satu daerah yang memiliki jumlah aksi protes tertinggi di Indonesia. Untuk dapat menampung keluhan atau tuntutan dari masyarakat, maka Dering Asmara diluncurkan, di mana setiap masyarakat dapat menyampaikan keluhan-keluhannya.
Pembicara terakhir, yaitu Prof. Dr. Rini Rachmawati, S.Si., MT. (Guru Besar Fakultas Geografi UGM) menekankan tentang perlunya kolaborasi dan integrasi dalam pengembangan layanan berbasis digital. Ia juga menyebutkan bahwa, “tantangan lain dalam digital governance, bagaimana agar masyarakat mengetahui inovasi yang ditetapkan oleh pemerintah, agar inovasi tersebut benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.”
Seminar Nasional bertajuk “Digital Governance: Peluang dan Tantangan” akhirnya ditutup dengan foto bersama antara pembicara dan ratusan peserta diskusi yang hadir.